Untuk lebih jelasnya, Bagaimana & Siapa Mbah Sambi Resik itu...,
Saudara"ku smua bisa men-download disini Mbah Sambi Resik
BUKU SILSILAH INI BISA
DICOPY / COPY PASTE / DOWNLOAD /
DIGANDAKAN
KHUSUS UNTUK KALANGAN KETURUNAN MBAH
SAMBIRESIK
www.google.co.id (silsilah mbah
sambiresik)
Disempurnakan : Lamongan, 14 Agustus
2010 M / 4 Ramadlan 1431 H
ASAL USUL MBAH SAMBIRESIK DAN RIWAYATNYA
Tersebutlah seorang Sunan perempuan
bernama Raden Ayu Sekar Kedaton (Raden Ayu Kalinyamat binti Joko Tingkir)
meninggalkan Singgasananya. Demikian awal kisah seperti yang dituturkan oleh Yai
Bulchin (KH. Abdul Aziz, 82 tahun, Kedundung Mojokerto 26 Mei 1987).
Dengan mengendarai seekor gajah putih sampai lah beliau di suatu rawa yang
bernama “Rowo Suro”. Dari asal-usul inilah di kemudian hari kerajaannya
dinamakan “SUROKARTO”. Sampai di sini riwayat berdirinya Keraton Surokarto atau
Mataram.
Kerajaan Mataram terus berlangsung, yang
kemudian tiba pada kurun waktu pemerintahannya Sunan Prabu atau Sunan
Amangkurat IV. Di dalam keluarga Keraton terdapat seorang anggota keluarga
yang bernama KH. ABDUR ROHMAN putra Pangeran Hadi Kusumo atau
cucu Amangkurat I, atau misanan Sunan Prabu, juga misanan Sunan
Mas (Amangkurat III). Abdur Rohman muda pernah lelaku
riyadloh selama 8 tahun di gunung Imogiri, sehingga mendapat sebutan Sultan
Bangun Tapa. Antara Sunan Prabu dan KH. Abdur Rohman selalu
terjadi perselisihan, yang disebabkan oleh condongnya Sunan Prabu kepada
V.O.C. (Perserikatan Dagang Belanda) yang ditentang oleh KH. Abdur Rohman.
Ketika Sunan Prabu menetapkan penanggalan Masehi sebagai kalender
resmi Kerajaan dan KH. Abdur Rohman menghendaki penanggalan Hijriyah,
maka beliau KH. Abdur Rohman memutuskan untuk menghilang dari
keluarga Keraton Mataram. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1720an.
Sampai 2 tahun KH. Abdur Rohman
tidak pernah ditemukan, padahal Sunan Prabu sudah memerintahkan para
Ronggo untuk berusaha mencarinya sampai ke daerah Banyuwangi. Setelah itu Sunan
mendengar berita bahwa di daerah Bangak Wonotoro Solo, muncul nama seorang
Ulama’ KH. Abdur Rohman dengan pesantrennya yang mulai besar. Sunan
mengirimkan utusan ke pesantren tersebut. Untuk memastikan apakah benar Ulama’
itu adalah KH. Abdur Rohman saudaranya Sunan sendiri, dan ternyata
benar. Sunan kemudian memerintahkan para Ronggo supaya tidak mengganggu
Pesantren tersebut. Sang Kyai sendiri yang melaksanakan babat alas pete,
sehingga beliau mendapat sebutan Ki Ageng Wonotoro, ( Tempat itu
sekarang bernama Dsn. Wonotoro, Ds. Catur, Kec. Sambi, Kab. Boyolali, Jawa
Tengah, berdekatan dengan Ds. Bangak, Kec. Banyudono, Kab. Boyolali, dan perlu
ditegaskan bahwa periwayatan ini adalah bukan yang dimaksudkan dengan nama Ki
Ageng Wonontoro atau Ki Ageng Wonokusumo yang makamnya di Dusun Wonontoro, Ds.
Jatiayu, Kec. Karangmojo, Kab. Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta ).
Beberapa lama kemudian Sunan dipengaruhi
juga oleh Belanda, supaya menyingkirkan Sang Kiyai di Wonotoro itu, dengan
alasan supaya tidak muncul kekuatan baru yang akan meruntuhkan Mataram. Sunan
menyetujui dan mengijinkan Belanda untuk membunuh KH. Abdur Rohman. Lalu
berangkatlah satu pasukan Tentara Belanda menyerang Pesantren Wonotoro, dan
terjadilah pertempuran yang ke I. KH. Abdur Rohman dan para santrinya
mempertahankan diri dengan mengerahkan batu-batu Gunung Merbabu dengan
kekuatan tenaga batin. Hampir semua Tentara Belanda tewas, dan sisanya mundur
dari Pesantren Wonotoro. Selanjutnya terjadi pertempuran yang ke II, dan kali
ini pasukan Belanda semuanya habis, karena Kiyai mengerahkan para santrinya
yang dibantu dengan kekuatan api Gunung Merapi. Kejadian ini membuat para
pemimpin V.O.C. panik. Pasukan Wonotoro tidak dapat dihadapi dengan kekuatan
dan mungkin harus dihadapi dengan taktik atau kelicikan tipu daya. Pada
pertempuran yang ke III, pasukan Belanda tidak menyerang Pesantren Wonotoro,
tetapi menyerang Desa Magersari (Tempat itu sekarang bernama Ds. Tempursari,
Kec. Sambi, Kab. Boyolali, Jawa Tengah) yang berdekatan dengan Pesantren
Wonotoro, dan menghajar penduduk yang tidak bersalah. Tanpa sepengetahuan KH.
Abdur Rohman, hangus dan hancurlah Desa Magersari, dan hancurlah perasaan KH.
Abdur Rohman setelah mendengarnya. Sang Kiyai kemudian memutuskan untuk
menghadap sendiri kepada salah seorang Jenderal V.O.C. untuk berunding, dan
mengatakan apa yang sebenarnya dikehendaki Belanda. Jawabannya ialah V.O.C.
menghendaki kematian Sang Kiyai. Maka Kiyai merelakan kematian dirinya, asal
penduduk yang tidak bersalah tidak dibinasakan, juga V.O.C. harus berjanji
tidak membinasakan anak keturunan KH. Abdur Rohman. Sang Jenderal
kemudian berjanji, sambil menanyakan bagaimana caranya untuk dapat membunuh
Kiyai. Sang Kiyai mengatakan bahwa Belanda hanya dapat membunuhnya, bila beliau
sedang berada di dalam Masjid dan sedang Sholat, dengan cara mengambil Pusaka
yang terselip di badannya dan ditikamkan.
Pada pagi hari ketika Kiyai sedang
Sholat di dalam Masjid (masjid itu sekarang bernama Masjid Wonokusumo, Dsn.
Wonotoro, Ds. Catur, Kec. Sambi, Kab. Boyolali, Jawa Tengah) masuklah seorang
tentara Belanda yang akan membunuh Kiyai. Karena tentara Belanda tersebut masuk
dengan bersepatu, maka tiba-tiba jatuh pingsan. Setelah sadar tentara Belanda
itu masuk Masjid tetap dengan bersepatu lagi, dan jatuh pingsan lagi. Setelah
sadar kedua kalinya tentara Belanda tersebut memutar otak, yang kemudian
teringat kebiasaan Tata Cara Orang Islam bila memasuki Masjid. Sang tentara
Belanda ternyata bisa mengucapkan kalimat Syahadat dan mengambil air wudlu’
secara Islam, kemudian ia masuk ke dalam Masjid dengan tidak bersepatu, dan
berhasillah mendekati Sang Kiyai yang sedang terus Sholat itu. Pusaka cundrik
yang terselip di badan Kiyai dapat diambilnya lalu ditikamkan, maka wafatlah
Sang Kiyai.
Sunan Prabu di Mataram memerintahkan supaya jasad KH. Abdur Rohman dimakamkan di
tempat pesantrennya, di Bangak Wonotoro Solo (tempat itu sekarang adalah Dsn.
Wonotoro, Ds. Catur, Kec. Sambi, Kab. Boyolali, Jawa Tengah). Setelah V.O.C.
mengakhiri riwayat Sang Kiyai, ternyata V.O.C. tidak menepati janjinya. Putra
Sang Kiyai yang bernama Wijil Afandi ketika itu baru saja pulang dari
menggembala kambing, dan mengetahui di rumahnya sedang ribut. Belum sampai
mengetahui apa yang sedang terjadi, tiba-tiba Wijil Afandi diserang oleh
tentara-tentara V.O.C. yang akan membunuhnya juga. Wijil Afandi lari ke
arah timur, dan dari sini dimulailah kisah baru, yaitu kisahnya Wijil Afandi.
Wijil Afandi sudah mengetahui bahwa Romonya dibunuh Belanda. Para Santri mengatakan
supaya ia menyelamatkan diri. Seorang diri Wijil Afandi terus saja lari
ke arah timur dan sampailah di Kota Magetan, dan terus ke timur lagi. Di
sebelah timur Magetan Wijil Afandi hampir saja tertangkap oleh Belanda.
Dia dikepung dan digerebek di tempat suatu pekuburan. Masuklah Wijil Afandi
ke dalam sebuah kuburan yang berlobang dan bersembunyi di dalamnya selama 7
hari. Karena Belanda tidak berhasil menemukannya, maka mereka meninggalkan
tempat itu, dan terus mencari di tempat lain. Setelah keadaannya sepi, Wijil
Afandi keluar dari kuburan dan meneruskan perjalanan ke timur arahnya
melewati Gunung Lawu, dari sini perjalanannya kemudian diikuti seekor
macan putih. Bersama macan putih Wijil Afandi sampai di daerah Kediri
pada suatu tempat yang bernama WONOKESAMBI. Di sini Wijil Afandi
beristirahat untuk bertapa selama tiga tahun ditemani macan putih tersebut.
Selama bertapa, tempat yang ditempati selalu resik karena selalu dibersihkan
oleh angin. Inilah yang kemudian hari menjadi nama “SAMBIRESIK SELOWANGI”, atau
hutan Kesambi (Kecacil) yang resik dan ada batu yang berbau harum, (tempat itu
sekarang bernama Ds. Sambiresik, Kec. Gampengrejo, Kab. Kediri, Jawa Timur).
Setelah selesai tiga tahun bertapa di
Wono Kesambi. Wijil Afandi meneruskan perjalanan dengan menggunakan
perahu getek yang dirakitnya sendiri. Sesuai perintah wangsit yang diterimanya
dalam riyadloh. Perjalanan dimulai dari bengawan di Kediri (Kali Brantas). Dia
berniat apabila perahunya nanti kandas selama 40 hari, maka disitulah ia harus
turun. Wijil Afandi mulai ”ngintir kali” dengan perahunya, dan
berlama-lama di atas air siang dan malam, sampai kemudian kandas di Kedungsoro
Gedeg Mojokerto, (tempat itu sekarang bernama Ds. Terusan, Kec. Gedeg, Kab.
Mojokerto, pada titik pertemuan antara Kali Brangkal dengan Bengawan Brantas,
berhadapan sebelah barat Jembatan Lespadangan utaranya alun-alun Kota
Mojokerto). Ternyata setelah 7 hari perahu Wijil Afandi hanyut lagi,
karena disundhul bajul putih, yang akhirnya memasuki tempat yang berrawa-rawa
yang mempunyai sebutan deso Rowo Kasepuhan, yang tepatnya daerah itu sekarang
bernama Dsn. Tebuseren, Ds. Dukuhsari, Kec. Jabon, Kab. Sidoarjo, Jawa Timur).
Sampai 40 hari perahu tetap kandas dan tidak hanyut lagi, yang berarti Wijil
Afandi harus turun dari perahunya.
Wijil Afandi kemudian “ngenger” kepada seorang Mbok Rondo Kedungcangkring (sekarang
bernama Tebuseren). Wijil Afandi kemudian dikhitankan, dan setelah cukup
dewasa dikawinkan sampai punya anak satu. Setelah punya anak satu Wijil
Afandi dipondokkan kepada Raden Kiyai Imam Besari, Gebangtinatar
Tegalsari Ponorogo (sekarang dikenal dengan nama Pondok Tegalsari di Ds.
Tegalsari, Kec. Jetis, Kab. Ponorogo, diapit Sungai Keyang dan Sungai Malo) (K.Imam
Besari wafat tahun 1813, dan adalah seorang muridnya KH. Abdur Rohman Mataram).
Wijil Afandi mondok selama 8 tahun, dan selama itu bukannya diajari
mengaji, tetapi disuruh momong putra Kiyai dan membawakan kitab Sang Kiyai
apabila akan ke mimbar. Selama delapan tahun Wijil Afandi momong sampai
berganti putra empat. Setelah selesai delapan tahun Wijil Afandi
dipanggil oleh Kiyainya, untuk dimandisucikan, lalu diberi semua kitab Sang
Kiyai dan diajari awalnya saja, setelah itu disuruh pulang ke Tebuseren, dan
disertakan kepadanya 500 orang Santri yang terdiri dari manusia dan jin. Dan
disuruh membuat Masjid dalam waktu satu hari, dan jadilah Masjid dalam waktu
satu hari.
Akhirnya daerah yang semula rawa-rawa
itu menjadilah sebuah Pesantren yang besar dengan Masjidnya yang terbuat dari
“SIRAP” yang sekitarnya ditanami tebu yang “SEREN-SEREN” (panjang) sehingga
dapat dilingkarkan kesekeliling Masjid. Dari tempat demikianlah kemudian
Adipati Suroboyo menamakan desa Tebuseren. Sedangkan Wijil Afandi
sendiri disebut oleh para santrinya dengan nama Mbah Sambiresik karena
pernah bertapa di Wono Kesambi yang Resik. Kemudian di sini Mbah Sambiresik
atau Mbah Ahmad atau Mbah Wijil Afandi atau Mbah Tebuseren
melanjutkan keturunannya. Anak Mbah Sambiresik berjumlah 15 orang, yang
kebanyakannya perempuan, yang keturunannya menyebar di daerah Jawa Timur, yang
terutama di daerah-daerah Sidoarjo, Mojokerto, Mojosari, Jombang, Kediri,
Malang, Pasuruan, Probolinggo, Surabaya, Gresik, Lamongan, Tuban, juga ada yang
kembali ke daerah Solo.
Makam Mbah Sambiresik berada di
belakang Masjid Tebuseren, dan Masjid tersebut sekarang bernama Masjid “SAMBI
NURUL HUDA”, Dusun Tebuseren Desa Dukuhsari Kec. Jabon Kab. Sidoarjo Jawa
Timur.
Khaul Mbah Sambiresik selalu
diperingati setiap tahun pada tanggal 15 Asyuro, yang diselenggarakan
oleh para tokoh keluarga keturunan Mbah Sambiresik, para tokoh
masyarakat setempat, dan para Pamong Desa. Kunjungan ke makam Mbah
Sambiresik juga kunjungan acara Khaulnya berdatangan dari berbagai daerah,
dan mereka pada umumnya mengaku sebagai keturunannya Mbah Sambiresik.
Keterangan :
Mbah Sambiresik merupakan salah satu
dari sejumlah figur Islam Santri yang eksodus ke Jawa Timur, karena terdesak
oleh hegemoni Islam Abangan yang mendominasi kekuasaan Mataram yang didukung
oleh penjajah Belanda pada masanya.
SEKITAR ASAL-USUL NABI ADAM A.S.
DAN PEMBUATAN SILSILAHNYA SEKITARNYA
Dalam buku silsilah ini disajikan
nama-nama yang berurutan secara vertikal yang dimulai dari Nabi Adam A.S.
sampai Mbah Sambiresik, melalui jalur kanan (para Nabi dan para Wali)
dan jalur kiri (para Wayang dan Raja-Raja Benggala serta Raja-Raja Jawa)
Silsilah jalur kanan yang dimulai dari Nabi
Adam A.S. sampai nama-nama sebelum Nabi Muhammad SAW, adalah
didapatkan dari tulisan orang-orang Yahudi pada zaman Kitrah (sebelum Nabi
Musa),pada zaman Nabi Musa A.S, dan sesudahnya. Sedangkan nama-nama
setelah Nabi Muhammad SAW adalah didapatkan dari tulisan para Tabi’in,
Tabi’it Tabi’in, sampai para Wali di Tanah Jawa serta para Raja Jawa.
Silsilah jalur kiri yang dimulai dari Nabi
Adam A.S. sampai nama-nama Wayang hingga Raja-Raja Benggala dan Raja-Raja
Jawa, adalah didapatkan dari Catatan kisah-kisah Wayang dan Catatan “Poro Ratu”
Mataram. Semua informasi silsilah yang disampaikan di sini dapat disebutkan
sumbernya, sedangkan kebenarannya adalah Alloh SWT yang lebih mengetahui.
Tentang asal-usul Nabi Adam A.S.,
kita bisa mendapatkan informasinya dari Wahyu maupun dari Sains. Informasi
bahwa Nabi Adam A.S. dari tanah (turob) adalah sama-sama diberitakan
oleh Wahyu maupun pembuktian Sains. Sedangkan informasi tentang Adam
sebagai manusia pertama adalah tidak (belum) dapat dibuktikan oleh Sains, juga
dari Kitab Suci Al-Qur’an tidak ditemukan satu ayatpun yang menyatakan bahwa Adam
adalah manusia pertama. Al-Qur’an hanya menyatakan bahwa Adam adalah
bapak sekalian manusia. Sedangkan pernyataan bahwa Adam adalah manusia
pertama hanya disebutkan dalam Hadist Nabi.
Apabila Adam adalah pemimpin Homo
Sapiens pertama, yang datang dari proses evolusi biologis, adalah bisa saja
diterima oleh Sains maupun Al-Qur’an (yang telah ditafsirkan). Sedangkan
apabila Adam adalah individu manusia pertama, adalah juga bisa saja
diterima oleh Kitab Suci dan Sains. Untuk Sains alasannya ialah bahwa Hukum
Relativitas Umum dan Mekanika Quantum membenarkan tentang adanya fenomena
Mu’jizat. Apabila kemungkinan Adam datang tidak terkait dengan Evolusi,
tapi hadir sendiri secara Revolusi, adalah kejadian itu termasuk Mu’jizat. Dan
Mu’jizat bisa terjadi tanpa melanggar Sunnatulloh (hukum Alam/Sains).
SEKITAR JALUR KANAN DAN JALUR KIRI SILSILAH
Silsilah jalur kanan dan jalur kiri
adalah dimulai dari dua putra Nabi Sits bin Adam A.S. yang kontradiktif.
Sayid Anwasy (Yanisy) bin Sits yang beriman dan bertaqwa menurunkan para
Nabi dan para Wali, yang selanjutnya disebut jalur kanan. Sedangkan Sayid
Anwar (Sang Hyang Nur Cahyo) yang menentang Tuhannya, menurunkan
para Wayang, yang selanjutnya disebut jalur kiri.
Raja-Raja Mataram selanjutnya ternyata
mewarisi jalur kanan dan jalur kiri. Sebagai contoh ialah Sultan Agung
ternyata tampil sebagai raja yang arif dan bijaksana, sedangkan Sultan
Amangkurat I putra Sultan Agung tampil sebagai raja yang lalim dan
bekerjasama dengan kaum Imperialis Belanda. Ternyata sifat-sifat jalur kanan
dan sifat-sifat jalur kiri bisa muncul berselang-seling dalam silsilah keturunan
ini.
Silsilah jalur kanan yang dimulai dari Sayid
Anwasy (Yanisy) disini hanya dapat diceritakan bahwa Yanisy
langsung berketurunan di masanya sendiri tanpa penundaan. Sehingga nantinya
nampak silsilah jalur kanan lebih panjang daripada silsilah jalur kiri. Jalur
kiri ternyata lebih pendek 23 generasi daripada jalur kanan, yang ceritanya
adalah seperti berikut ini :
Sayid Anwar Murtad (Sang Hyang Nur Cahyo) tidak langsung berketurunan dimasanya. Dia
membujang dengan umur yang panjang sampai zaman setelah Nabi Ibrahim dan
beberapa saat sebelum Nabi Musa. Dan baru berketurunan pada masa itu
setelah menikah dengan salah seorang keturunan Jin yang bernama Dewi Nurini.
Demikian pula anak cucunya nanti, selalu nampak pertautan dengan keturunan Jin.
Misalnya nama-nama Dewi Rawati, Dewi Sahoti, Dewi Rekathawati,
dan lain-lain adalah nama-nama itu merupakan nama-nama Jin.
Tentang alasan Sains, tentu cerita
tersebut tidak dapat diterima, karena tidak ada pembuktian ilmiah bahwa antara
manusia dan Jin, perkawinannya bisa menghasilkan keturunan. Tetapi manusia di
samping hidup dalam dimensi alam material, ternyata hidup juga di dalam dimensi
alam immaterial (shadow matter = alam bayangan), yang di sana juga berlaku
hukum-hukum Fisika yang berkebalikan dengan hukum-hukum Fisika di sini, seperti
benda di luar dan di dalam cermin. Dengan alasan ini maka bisa saja perkawinan
antara manusia dengan jin bisa menghasilkan keturunan, setidak-tidaknya
pewarisan sifat-sifat.
Kisah Sang Hyang Nur Cahyo bin Sits
bin Adam A.S. sebagai pemula silsilah jalur kiri adalah sebagai berikut :
Sang Hyang Nur Cahyo (Sayid Anwar Murtad) ingin menjadi manusia yang tak terkalahkan
oleh siapapun juga (seperti juga keinginan Iblis Azazil). Untuk itu ia
menjelajahi dunia dan bertapa di tempat-tempat yang angker, di gunung , di
dalam laut, sampai di dalam nyala api. Kehendaknya itu didukung oleh Ijajil (Azazil).
Suatu ketika ia sampai di pulau Dewani (sebuah pulau di lautan lepas daratan
India) dan bertapa di dalam sebuah gua. Pulau Dewani merupakan Kerajaan Jin
Dinasti Ngejan.
Dewi Nurini adalah seorang putri yang teramat cantik dalam Dinasti Ngejan, yang
kemudian menikah dengan Sang Hyang Nur Cahyo, dan menurunkan silsilah
para Wayang. Dewi Nurini adalah putri Raja Nuradi bin Raja
Wenus bin Raja Andajali bin Ejin bin Jan bin Marijan, dan selanjutnya
termasuk nama bapak Jin yang pertama tidak diketahui. Ijajil (Azazil
Iblis La’natulloh) adalah adik Raja Andajali, yang masih termasuk
paman buyutnya Dewi Nurini istri Sang Hyang Nur Cahyo. Perkawinan
Dewi Nurini dengan Sayid Anwar terjadi pada zaman Kitrah
(menjelang munculnya Nabi Musa A.S.), yang salah satu putranya adalah
bernama Sang Hyang Nur Roso, yang lakunya gemar bertapa seperti ayahnya.
Sang Hyang Nur Roso kawin dengan Dewi Rawati bin Raja Rawangin bin
Raja Wenus.
Sang Hyang Nur Roso mempunyai putra Sang Hyang Darmajaka dan Sang Hyang Wenang (Sang
Hyang Wening) karena wajahnya yang amat cerah.
Sang Hyang Wenang bercita-cita ingin menyamai Sang Maha Pencipta (= tentunya sudah
keterlaluan sesatnya). Dengan kesaktiannya ia menciptakan istana emas di atas
mega tinggi beralaskan awan di atas Gunung Keling. Raja Keling (Jin) yang
marah atas ulah Sang Hyang Wenang, pada suatu malam terbang menuju
istana atas angin itu, tetapi berkali-kali ia jatuh karena kalah sakti dengan Sang
Hyang Wenang. Akhirnya Raja Keling menyerah kalah dan
mempersembahkan putrinya yang bernama Dewi Sahoti menjadi permaisurinya.
Dan daripadanya lahir Sang Hyang Tunggal.
Sang Hyang Tunggal kawin dengan Dewi Rekathawati bin Rekathatama (Jin berwujud
kepiting) bin Yuyutama bin Minangkara bin Menak bin Dari bin Raja Wenus.
Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekathawati mempunyai putra Batara
Manik dan Batara Maya, yang keduanya menetas dari sebuah telur
yang keluar dari rachim Dewi Rekathawati. Batara Maya yang tua
keluar dari putih telur, dan Batara Manik yang muda keluar dari kuning
telur. Telur itu menetas di Tanah Jawa setelah terbang melalui angkasa dari
Negeri Dewani. Batara Manik dan Batara Maya yang menjadi penguasa
dan pemula silsilah raja-raja Jawa diceritakan dalam Kitab Manikmaya.
TUTUR CERITA DARI YAI BULCHIN (KH. ABDUL AZIZ)
Pada tanggal 14 September 1989, Yai
Bulchin (Kedundung Mojokerto) menyampaikan tutur ceritanya seperti yang
diterimanya dari Mbahnya yang bernama Nyai Ngarimah istri Mbah
Mas Ma’nawi Mojojejer, seperti berikut ini :
Kisah Mbah Muhamad Ngalwi dan Pak Eglek
Tersebutlah di desa bernama Jiyu, sebuah
desa yang bersebelahan dengan desa Mojojejer, ada seorang Lurah yang bernama Pak
Eglek dan kepetengannya bernama Pak Rinek. Desa Jiyu hanya dihuni
oleh tujuh orang penduduk, yang pekerjaannya adalah menanam padi. Pada suatu
malam Mbah Muhamad Ngalwi yang diberi gelar Lalap Caluk bersama
santrinya yang diberi gelar Gabuk Serepet menyumbat air yang mengalir ke
sawah desa Jiyu. Lurah Eglek dan Pak Rinek marah dan
mengumpat-umpat (mesuh-mesuh). Mbah Muhamad Ngalwi dan Gabuk Serepet
bersembunyi di dalam batu secara sirna jasad. Mendengar tantangan yang lantang
dari Pak Eglek yang mengatakan bahwa kalau Mbah Muhamad Ngalwi
punya ilmu yang tinggi keluarlah dan kemudian adu kekuatan. Segera Mbah
Muhamad Ngalwi mewujudkan dirinya yang langsung disambut dengan tumbak oleh
Pak Eglek. Karena Mbah Muhamad Ngalwi punya aji lembu sekilan
maka tubuh Mbah Muhamad Ngalwi tidak dapat ditembus. Serangan kemudian
diberikan oleh Mbah Muhamad Ngalwi kepada Pak Eglek dengan
memukulkan berkali-kali ke kepala Pak Eglek dengan senjata yang namanya
Caluk (celurit). Tapi karena Pak Eglek juga mempunyai kesaktian, maka
caluk itu tidak mempan juga. Namun karena terlalu banyaknya pukulan maka kepala
Pak Eglek menjadi panas juga dan tidak tahan dan lalu lari minggat.
Dicarinya kemudian oleh Mbah Muhamad
Ngalwi apakah Pak Eglek masih ada di desa Jiyu, ternyata sudah raib
dari desa tersebut, sebab sesuai dengan watak pendekar apabila kalah dalam
peperangan maka dengan konsekwen harus minggat dari tempat tinggalnya bersama
semua para kawulanya. Setelah beberapa bulan padi yang ditanam oleh Pak
Eglek dan penduduknya sudah mulai menguning. Maka kemudian para Lurah di
sekitar desa tersebut mengadakan rembuk untuk membagi sawah desa Jiyu kepada
para pemukim dari desa-desa di sekitar desa Jiyu. Sekian kisah tentang Mbah
Muhamad Ngalwi dan Pak Eglek.
Kisah Mbah Abu Sufyan dan Rojo Bali
Mbah Abu Sufyan mempunyai ilmu yang bernama Ilmu Dali Putih. Yang dengan ilmu tersebut Mbah
Abu Sufyan bisa terbang (ngawang). Untuk mendapatkan ilmu tersebut cukup
dengan tirakat puasa hanya tujuh hari. Dengan ilmunya tersebut Mbah Abu
Sufyan ingin berkenalan dengan Rojo Bali yang beragama Hindu. Maka
terbanglah beliau ke Bali dan sampai di sana pada malam hari. Karena pada malam
hari maka pintu Keraton sudah tertutup. Beliau bermaksud untuk menggunakan
ilmunya dengan mengusapkan tangannya ke pintu supaya terbuka, namun tidak
dapat, sebab sekalipun ilmunya tinggi tapi karena Rojo Bali kedudukan
pangkatnya yang lebih tinggi dan beragama ghoirul Islam maka ilmu yang dipunyai
Mbah Abu Sufyan tidak dapat diterapkan. Dan malam itu Mbah Abu Sufyan
hanya berjalan-jalan ke petamanan untuk melihat-lihat bunga-bunga, dan kemudian
beliau terbang pulang.
Kisah Mbah Abu Sufyan dan para kampak
anak buahnya
Karena Mbah Abu Sufyan bisa
terbang, maka beliau sering pergi jauh misalnya ke Banyuwangi, ke lereng Gunung
Semeru, dan lain-lain daerah timur. Beliau mempunyai anak buah para kampak
(perampok), yang sasarannya adalah sapi ajak di hutan-hutan. Pada suatu hari
beliau mengiringkan anak buahnya para kampak merampok sapi ajak di lereng
Gunung Semeru. Yang punya sapi mengejarnya dan setelah dekat beliau punya
siasat yaitu sembahyang di pinggir jalan. Yang mengejar lalu berhenti karena
tidak berani terus karena ada orang alim yang sedang sembahyang dan ditunggunya
sampai selesai, sedangkan para kampak dengan sapinya sudah berjalan lebih jauh.
Setelah selesai sembahyang orang yang mengejar sapi tersebut bertanya kepada Mbah
Abu Sufyan apakah menjumpai para kampak yang membawa sapinya itu, maka
beliau mengatakan tidak tahu, padahal beliaulah pemimpin kampak itu.
Di Mojojejer beliau dinasihatkan oleh
gurunya supaya berhenti sebagai kepala kampak, namun beliau tidak berhenti
juga. Pada saatnya beliau pernah menggunakan sapi hasil rampokannya itu untuk
mengerjakan sawah, namun sawahnya itu tidak dapat panen. Barulah beliau
mengerti akan hukum batin (hukum karma), dan sejak itu beliau bertobat tidak
menjadi perampok.
Kisah Yai Ihsan
Yai Ihsan ingin mewarisi ilmunya Mbah Abu Sufyan, yaitu supaya bisa terbang.
Dan beliau tirakat puasa tujuh hari seperti yang dilakukan oleh Mbah Abu
Sufyan, namun Yai Ihsan tidak berhasil. Dan diulanginya sampai tujuh
kali tujuh hari, namun tidak berhasil juga. Beliau hanya berhasil sampai pada
dapat meloncat 2 ru (rong ru) yaitu dapat meloncati sungai besar di sebelah
timur Mojojejer itu. Katanya di zaman dulu sungai besar di sebelah timur
Mojojejer itu airnya selalu besar sekalipun di musim kemarau, besarnya seperti
kalau sedang banjir di masa sekarang ini.
Kisah Kanjeng Lider
Kanjeng Lider adalah Bupati di wilayah yang sekarang Kabupaten Mojokerto. Suatu masa
Gunung Kelud sedang meletus. Maka Kanjeng Lider dibantu Lurah Siman
( di lereng Gunung Kelud) dapat masuk ke tempat lahar dengan kekuatan batin,
seterusnya Kanjeng Lider menjatuhkan intan ke dalam kawah Gunung Kelud,
dan berhentilah muntahan letusan Gunung Kelud.
Kisah merajalelanya Kampak
Konon ketika para penguasa kulit putih
(Belanda) masih terbatas di wilayah-wilayah kota yaitu terutama di daerah
sekitar Keraton Mataram saja, maka daerah-daerah pelosok yang masih sepi adalah
menjadi ajang para kampak sebab tidak ada yang melindungi dan tidak terjangkau
oleh aparat. Namun setelah para penguasa kulit putih sampai di daerah-daerah
pedesaan barulah kampak-kampak itu aman tidak berkeliaran.
Ketika para kampak masih merajalela
pernah terjadi pada suatu ketika masuk ke selatan sampai ke daerah Pacet dan
harus melalui desa Mojojejer. Desa Mojojejer adalah merupakan pos penjagaan
yang dilakukan oleh para pendekar di Mojojejer untuk mencegah masuknya para
kampak yang datang dari utara (Surabaya) ke daerah selatan. Ketika para kampak
itu masuk ke selatan maka dicoba oleh para pendekar di Mojojejer itu untuk
dibiarkan saja lewat. Dan benarlah kemudian terjadi perampokan di daerah-daerah
selatan. Setelah itu para kampak kembali ke utara dan melewati desa Mojojejer
dengan membawa barang-barang hasil rampokannya. Di desa Mojojejer diberhentikan
oleh para pendekar yang dipimpin oleh Kyai Mas Ma’nawi, dan terjadilah duel dan
para kampak itu dapat dikalahkan. Barang-barang harus ditinggalkan, dan para
kampak terus lari. Maka barang-barang itu kemudian akhirnya dapat kembali ke
lurah-lurah dari desa-desa yang dirampok. Dan mereka sangat berterima kasih dan
kagum atas keberanian dan kesaktian para pendekar di Mojojejer yang ternyata
mampu mengalahkan para kampak.
TUTUR CERITERA DARI K.H. MUH. IMRON ABDUL MUNTHOLIB
TUTUR CERITERA DARI K.H. MUH. IMRON ABDUL MUNTHOLIB
Pada tanggal 13 Agustus 2010, K.H. Muh.
Imron (Mojojejer) menceriterakan seperti yang diterimanya dari romonya (K.
Abdul Muntholib Pucang) yang diturunkan dari mbahnya (Mbah Imam Pucang), bahwa
Mbah Faqih dari Cirebon datang ke wilayah Kediri, ngintir kali Brantas sampai
tiba di Kali Porong. Dengan menembus tanah dasar Kali Porong muncul di dusun
Pucang Ngerong (Kec. Gempol, Kab. Pasuruan).
Mbah Faqih juga melaksanakan babat alas
Mojojejer (Kab. Mojokerto), dan memukimkan anaknya yang bernama : Nyai
Syarifah. Dari keturunannya ada 2 laki-laki wadat (membujang dan tidak
berketurunan), yang bernama Mbah Jangglot (makamnya di selatan lapangan
Mojojejer), dan Mbah Imam Baghwi (makamnya di makam Sembujo Doyong
Mojojejer Ledok).
TUTUR CERITERA DARI KYAI MASDUQI JAWAHIRTU
Pada tanggal 1 November 1983, K. MASDUQI
JAWAHIR (Sambiresik Gampengrejo Kediri) menceriterakan dalam tulisannya,
seperti yang diterimanya dari Mbahnya (Mbah Mujnar / Muhammad Cholifah), Kemodo
Mojoagung, seperti berikut ini :
Asal-usul nama Mojojejer dan
Pesanggrahan
Kyai Achmad Cholifah dari Tebuseren Sidoarjo
datang ke hutan gadung dan gembulu kawasan Kaliwelang Pasuruan (sekarang
bernama Ds. Petaunan Gembong, Kec. Gadingrejo, Kota Pasuruan, Jawa Timur),
untuk membangun pesantren sesuai perintah romonya (Mbah Sambiresik), yang
sebelumnya sudah dibuka Mbah Sayid Ghozali bin Ali Akbar bin Sayid Sulaiman
Basyaiban. Maka tempat itu kemudian dinamakan Desa Rujak Gadung Gembong,
dan Sang Kyai sendiri mendapat sebutan Kyai Rujak Gadung Gembong. Dan sebutan
lainnya dengan nama Mbah Kepolo Perang. Dari Pasuruan beliau datang ke
Hutan Mojo kawasan utara kaki gunung Welirang Mojokerto untuk membuka Pesantren
dan bermukim sampai wafatnya (makam : Dsn. Mojojejer sebelah utara lapangan,
Ds. Pesanggrahan, Kec. Kutorejo, Kab. Mojokerto, Jawa Timur).
Kyai Mas Ma’nawi putra Kyai Achmad Cholifah
mendapatkan wasiat romonya bahwa sepeninggalnya nanti supaya membuka hutan mojo
untuk meluaskan pemukiman. Ketika membuka hutan mojo, Kyai Mas Ma’nawi dan para
pendekar santri berhadapan dengan kawanan kampak (begal, perampok) yang
dipimpin Walang Gepuk dan Celeng Srenggi yang menempati hutan tersebut sebagai
pesanggrahannya. Sang Kyai dan para pendekar dapat mengalahkan kawanan kampak
tersebut. Maka tempat tersebut kemudian dinamakan Mojojejer karena bekas
hutan mojo, dan dinamakan Pesanggrahan karena merupakan bekas
pesanggrahannya kawanan kampak.
Kyai Abdul Latif putra Kyai Mas Ma’nawi
dititipkan kepada Mbah Haji Khasan Munadoh di Desa Gedangan Rosobo, Mojoagung,
Kab. Jombang, Jawa Timur. Nama Abdul Latif diganti dengan Muhammad Cholifah
meniru nama eyangnya (Kyai Achmad Cholifah).
Muhammad Cholifah mendatangi sayembara
Lurah Kemodo Mojoagung (Lurah Murti), yang kemudian dapat mengalahkan jagoan
bernama Centhung dari Bojonegoro. Sebagai imbalannya Muhammad Cholifah diambil
menantu mendapat putri Lurah Kemodo yang bernama Murtikatal Suwati, dan
dibuatkan pesantren dan Masjid di Kemodo Mojoagung. Sebutan beliau kemudian
diganti dengan nama Muhammad Mujnar (Mbah Mujnar) karena bisa mengalahkan
jagoan Centhung yang berbuat onar dengan mengambil gadis-gadis dan isteri
orang. Para santri memanggil beliau dengan sebutan Kyai Muhammad Cholifah
Mujnar. Makam beliau adalah di belakang Masjid Kemodo Mojoagung.
Sejarah SYEKH MAULANA MANSURUDDIN
(Versi lain asal-usul Mbah Tebuseren)
Bismillahir rohmanir rohim,
Alhamdulillahi robbil alamin, Washolatu was salamu ala asyrofil anbiya’i wal
mursalin wa ala alihi wa shohbihi ajma’in, wa ba’du. Risalah puniko kangge
nyumurupi silsilahipun Syekh Maulana Mansuruddin ing Cikadun.
Maulana Mansuruddin bin Abdul Fatah
Tirtayasa bin Abul Ma’alli Ahmad Kanari bin Abul Mufahar Muhamad Abdul
Qodir bin Muhamad Nasuruddin bin Maulana Yusuf Pekalongan Kadi bin Maulana
Hasanuddin bin Syarif Hidayatulloh Cirebon bin Syarif Abdulloh bani Isro’il bin
Maulana Idris Akbar bin Abdulloh Kamil bin Hasan Mutsani bin Hasan Sabthi bin
Ali wa Fatimatuz Zahro binti Muhamad Rosululloh SAW.
Asmanipun Syekh Maulana Mansuruddin puniko
kathah, ing antawisipun inggih puniko : 1) Syekh Maulana Mansuruddin, 2) Abu
Nasor, 3) Abdul Qohar, 4) Abu Sholih, 5) Sultan Haji , putranipun Sultan
Ageng Abdul Fatah Tritayasa.
Dipun cariyosaken, bilih wonten ing
tahun 1651 Masihi panjenenganipun Sultan Agung Abdul Fatah lingsir
keprabon lan Kasultanan, dipun turunaken dateng putranipun inggih puniko Maulana
Mansuruddin, Sultan ingkang kaping pitu ing Banten.
Kirang-langkung kalih tahun
penjenenganipun Maulana Masuruddin ngasto Kasultanan, lajeng hajat bade
tindak dateng Mekah saperlu ngelampahi ibadah Haji , lan Kasultanan dipun
wakilaken dateng putranipun ingkang asmo Adipati Ishaq gelar Sultan
Abul Fadli.
Naliko bade berangkat dateng Mekah,
panjenenganipun nerami wasiat saking ramanipun, inggih puniko Sultan Agung
Tirtayasa, wasiatipun menawi tindak dateng Mekah Maulana Mansuruddin mboten
paring mampir-mampir. Saksampunipun Maulana Mansuruddin rampung anggenipun
ngelampahi ibadah Haji , naliko kondur dateng MBanten penjenenganipun khilaf
kalian wasiatipun ingkang romo, lajeng mampir dateng pulau Manjaki laladan
negari Cino. Wonten salah satunggaling riwayat Maulana Mansuruddin wonten
ing pulau Manajaki laminipun watawis kalih tahun, mundut garwo ratu Jin, lan
dipun paringi putro setunggal.
Saklaminipun Maulana Mansuruddin
wonten pulau Manjaki panjenenganipun Sultan wakil inggih puniko Adipati
Ishaq ing Banten kinging bujukipun Walandi ngantos Sultan wakil wahu dipun
angkat lan dipun dadosaken Sultan ingkang resmi. Tapi Sultan Agung Abdul
Fatah Tirtayasa boten sakrujuk lan kedah nenggo rawuhipun Sultan Maulana
Mansuruddin. Kawontenan ingkang kados makaten wahu lajeng timbul riyokese
kekacauan. Ngantos wonten satunggaling wekdal wonten bita ingkang labuh wonten
ing pelabuhan Banten, ingkang ngaken-ngaken bilih Sultan Mansuruddin
sampun rawuh saking Mekah lan ngasto angsal-angsal saking negari Mekah, lan
ngaken Sultan Abu Nasor, ngantos kathah rakyatipun ingkang percados,
ananging Sultan wakil inggih puniko Pangeran Adipati Ishaq mboten
percados keranten ingkang dateng pelabuhan Banten puniko Sultan Mansuruddin
palsu, lajeng Sultan wakil sowan dateng ngarsanipun Sultan Agung Fatah ingTirtayasa,
matur bilih ing Banten kedatengan Sultan palsu lan ingkang dados Sultan palsu
puniko mboten sanes inggih Rojo Pendito katurunanipun Rojo Jin saking
pulau Manjaki. Akhiripun Sultan Agung Abdul Fatah duko sanget ugi Sultan
wakil Adipati Ishaq inggih duko ngantos ngawontenaken peperangan lumawan
Sultan Mansuruddin palsu, lan Sultan Agung dipun bantu dining Tubagus
Bawang. Wonten peperangan puniko akhiripun Sultan Agung kesasar
ngantos dumugi ing Tirtayasa.
Wontenipun Sultan Mansuruddin
palsu lan peperangan ing Banten puniko kepireng dining Maulana Mansuruddin
ingkang taksih wonten ing pulau Manjaki, lajeng panjenenganipun eman kalian
wasiatipun ingkang Romo bilih mboten paring mampir-mampir. Akhiripun Sultan
Syekh Maulana Mansuruddin sanget getunipun lan terus nilaraken pulau
Manjaki lan kundur malih dateng Mekah saperlu bade taubat dateng ngarzanipun
Alloh wontening Baitulloh. Keranten panjenenganipun rumahos kagungan duso
ingkang katah inggih puniko ngelanggar wasiatipun tiang sepuh. Saksampunipun
taubat wonten ing Baitulloh, taubatipun Syekh Maulana Mansuruddin dipun
terami dining Alloh, sarto dipun paringi ilmu ingkang sampurno ngantos dipun
paringi ilmu kewalian, lajeng panjenenganipun imut lan kapingin kundur dateng
tanah Jawi (Banten), sarono kodrat lan irodatipun gusti Alloh panjenenganipun Syekh
Maulana Mansuruddin anggenipun kundur dateng Banten miyos lan sarono
selulup wonten ing salebetipun sumur zamzam lan terus muncul wonten ing
Ciwulakan, Cimanuk. Saksampunipun puniko lajeng panjenenganipun rawuh dateng
kampung Cikurma, lan mundut garwo Nyai Sarinten kagungan putro asmo Muhamad
Sholih, sahinggo panjenenganipun Syekh Maulana Mansuruddin
katelah Kiyahi Abu Sholih, selaminipun wonten ing Cikurma kegiatanipun Syekh
Maulana Mansuruddin mboten wonten sanes namung mucal syari’at agami Islam.
Mboten antawis dangu Nyai Sarinten garwanipun Sultan Mansuruddin
pupus yuswo lan dipun sareaken wonten ing pesarean Cikaroi, Cimanuk.
Salajengipun Syekh Maulana Mansuruddin pindah dateng Cikadun lan mundut
hadam asma Ki Jemah sarto mundut garwo malih asmo Nyai Jamilah
asal saking Caringin Labuhan peputro setunggal. Wekdal panjenenganipun Syekh
Maulana Mansuruddin anggiyaraken syari’at agami Islam wonten daerah
Pekalongan, inggih puniko wonten ing pasisir laut, kaleresan wonten ing
salebeting perjalanan ing satengahing wono Pakonmanitung, Syekh Maulana
Mansuruddin istirokhat wonten ing sangandapipun wit waru kalian hadamipun
inggih puniko Ki Jemah sarono nyandaraken saliranipun wonten pangkalipun
wit waru puniko, nanging mboten kanyono-nyono wit waru puniko lajeng ngadek
jejeg lan terus kados patrapipun tiyang ingkang cahos khurmat tunduk dateng
ngarsanipun puniko wali ngantos samangke wit waru puniko mboten wonten ingkang
lempeng. Boten antawis dangu anggenipun Syekh Maulana Mansuruddin
istirokhat, lajeng midanget wonten suwantenipun singo ingkang njerit kesakitan
leresipun wonten ing sapinggiripun seganten, keranten sukunipun dipun jupit
khayawan laut inggih puniko kimabrangrit, sareng simo wahu ningali datengipun
Syekh Maulana Mansuruddin lajeng mendelaken cahos khurmat dateng wontenipun
puniko wali lan nyuwun pitulungan. Wakdal samanten Syekh Maulana Mansuruddin
mangertos wicantenipun satwa khayawan, milo simo puniko lajeng dipun tulungi. Syekh
Maulana Mansuruddin ngendiko dateng Simo wahu ngendikanipun makaten : siro
saiki wis dak tulungi mulo siro saiki kudu sanggup lan janji yen siro lan sak
anak buah iro sakturun temurun ora keno iri dengki lan ganggu gawe marang anak
putuku turun temurun. Simo wahu sagah lan janji, lajeng kalian Syekh Maulana
Mansuruddin Simo wahu dipun kurung kalian surat Yasin minongko tondo sumpah
setianipun lan dipun paringi asmo Si Pincang atawa Raden Tampang
Langlang Buana, ayugi buyut Kalam, sarta dipun paringi panguaos dados ratuningpun
sedoyo Simo ing nenem daerah pakon, inggih puniko: 1) Ing pojok kulon ingkang
dipun ratoni dining Ki Mahadewa, 2) Ing gunung inten ratunipun asma Ki
Bima Laksana, 3) Ing pakon Lumajang dipun ratoni diding Raden
Singobarong, 4) Ing gunung Mangajaran dipun ratoni dining Ki Buligik
Jaya, 5) Ing daerah Majua dipun ratoni dining Raden Patri, 6) Ing
daerah pakon Manitung piyambak dipun duduki dining ratunipun sedoyo Simo wahu,
inggih puniko Si Pincang atawa Raden Tampang Langlang Buana,
atawa Ki Buyut Kalam.
Saksampunipun Syekh Maulana
Mansuruddin anggiyaraken syari’at agami Islam wonten ing daerah pakidulan,
panjenenganipun lajeng kundur dateng Cikadun kalian hadamipun Ki Jemah.
Akhiripun wonten ing tahun 1672 Masihi panjenenganipun Syekh Maulana
Mansuruddin pupus yuswo lan dipun sareaken wonten ing Cikadun.
Katerangan : 1) Sultan Agung
Abdul Fatah pasarehanipun wonten ing kampung Istana desa Pegandikan,
kecamatan Tirtayasa, kawedanan Puntang, Serang. 2) Cibulakan wonten
ing kampung Huluca’i, deso Paku Handap, kecamatan Cimanuk, kabupaten
Pandegelang. 3) Nyai Sarinten Pesarehanipun wonten ing Cikaro’i,
kecamatan Cimanuk, kabupaten Pandegelang. 4) Ujung Kulon, deso
Cikurundung, kecamatan Cimanggu, kawedanan Cibaliyung, kabupaten Pandegelang. 5)
Gunung Inten, wonten ing wilayah kecamatan Cimarga, kawedanan Luwidamar,
Rangkasbitung. 6) Pakon Lumajang tempatipun wonten ing daerah
Lampung Sumatera. 7) Gunung Pangajaran wonten ing diso Carito,
kawedanan Labuhan, kabupaten Pandegelang, puniko pusatipun perguruan pencak
silat macan. 8) Daerah Majua panggenanipun wonten ing diso Maju,
kecamatan Sakeni, kawedanan Menis, kabupaten Pandegelang. 9) Pakon
Manitung panggenanipun wonten ing deso Sumur Batu, kecamatan Cikesik,
kawedanan Cibaliyung, kabupaten Pandegelang. 10) Ki Jemah
pesarehanipun wonten ing kampung Kuncang, deso Kadukadung, kecamatan Cimanuk,
kabupaten Pandegelang.
Katerangan ingkang ngasto panguaos
Kasultanan : 1) Syarif Hidayatulloh, inggih wali ingkang ongko songo
ngasto panguaos Kasultanan Cirebon ngantos akhir tahun 1527 Masihi. 2)
Sultan Maulana Hasanuddin, inggih ingkang ngasto Kasultanan Banten ingkang
kawitan : 1527 –1552 Masihi. 3) Sultan Maulana Yusuf Pekalongan Gede :
tahun 1552 – 1570 Masihi. 4) Sultan Muhamad Mansuruddin – Sultan Abu Mufahar
Muhamad Abdul Qodir : 1570 – 1596 Masihi. 5) Sultan Abul Ma’alli Ahmad
Kanari tahun 1596 – 1640 Masihi. 6) Sultan Agung Abul Fatich Abdul Fatah
Tirtayasa, tahun 1640 – 1651 Masihi. 7) Sultan Syekh Maulana Mansuruddin,
tahun 1651 – 1672 Masihi.
Katerangan poro putranipun Syekh
Maulana Mansuruddin : 1) Pangeran Adipati Ishaq gelar Sultan Abul
Fadli. 2) Pangeran Abu Sholih. 3) Pangeran Abul Hasan gelar Sultan
Zainal Abidin. 4) Pangeran Muhamad Tohir utawi Tasmidin atawi
Kiyahi Muhamad Muhtar, Tebuseren, kecamatan Kedungcangkring, kawedanan
Bangil, kabupaten Pasuruhan. 5) Pangeran Fadluddin, atawi Samiluddin,
atawi Mbah Muhamad Jalalen pesarehanipun wonten ing Kasembon
kutomadyo Malang. 6) Pangeran Ja’faruddin inggih Syai’uddin pesarehanipun
wonten ing Warungdowo, Pasuruhan. 7) Pangeran Muhamad Alim inggih Syamsuddin
pesarehanipun wonten ing Kepanjen, kabupaten Malang. 8) Nyai ratu
Rohimah. 9) Nyai ratu Khalimah. 10) Nyai ratu Mukhibbi Jambi.
11) Putro saking ratu Jin ing pulau Manjaki negari Cino. Wallohu a’lam
bis showab.
Dipun tarjamahaken
saking boso Sundo, dining H. Syu’eb Bashri (Kulowargo Keturunan Mbah
Tebuseren, ing Jagalan Malang 1992 M).
Keterangan : Sejarah Syekh Maulana Mansuruddin Banten
tidak berkait dengan riwayat Mbah Sambiresik yang hidup pada era 1800-an,
tetapi berkait dengan Pangeran Muhammad Thohir Tebuseren yang pernah hidup pada
era 1700-an.
Untuk Bagan & silsilah Keluarga yang lain akan saya tampilkan di Bag.2
0 komentar:
Posting Komentar